Di RT 02 Pangkal Beras, Negara Kalah Harga: Big Bos Lebih Berdaulat dari Minerba


Bangka Barat -Pada suatu sore yang lembap di RT 02 Desa Pangkal Beras, Bangka Barat selang-selang besar tergeletak seperti usus yang baru dicabut dari perut bumi. Sebuah ruangan tertutup, basah, lembab, redup cahaya, memantulkan kilatan logam dari bak plastik dan karung-karung material yang sedang disortir.Jum'at 31 Oktober 2025

Ruangan itu bukan smelter resmi.
Bukan IUP pengolahan.
Bukan perusahaan besar yang tercatat di register ESDM.

Namun pekerjaannya precisely mirip prosedur negara mengolah mineral strategis nasional.


Beberapa warga menyebut satu nama yang beredar dari mulut ke mulut: “Mardin”.
Sosok yang mereka sebut “big bos”.
Nama yang muncul dari gosip lokal, belum tercatat legal, belum tertulis di dokumen resmi namun nyatanya lebih dominan daripada negara di lapangan.

Dan di negeri ini, tak jarang, gosip warga jauh lebih dulu menemukan “pelaku” daripada berita nasional.

UU Minerba yang seperti puisi, dan negara yang hanya jadi ilustrasi

Pasal 158 UU Minerba No.3/2020 sudah menulis pedang sastranya sendiri:

menambang tanpa izin dipidana hingga 5 tahun penjara dan denda 100 miliar rupiah.

Tetapi di RT 02 Pangkal Beras, hukum itu lebih mirip bait puisi yang dipajang di dinding. Indah dibaca, tak menggetarkan siapa pun.

Negara betul-betul hadir di sini sebagai dekorasi teks, bukan subjek daulat.

Suara Warga: “Di desa kami, yang berdaulat itu bukan negara.”
“Kalau begini, negara cuma jadi dekorasi. Kami rakyat cuma bisa menonton,” kata SR, 46 tahun. Suaranya pelan, cemas, seperti bicara tentang roh jahat.

NN, ibu rumah tangga, bicara soal lingkungan:
“Air sumur makin keruh. Lumpur makin pekat setelah ada kegiatan itu.”

Ada juga AL, pedagang kopi, bicara sinis soal ekonomi lokal:
“Yang ilegal hidupnya mewah. Yang bayar pajak tetap jual kopi. Negara salah hitung dari awal.”

Dan HS, pemuda yang paling meledak kalimatnya:
“UU Minerba itu teks. Di lapangan yang berdaulat itu uang.”

Mereka menolak nama asli. Takut.
Itu sendiri bukti bahwa ada kuasa yang melampaui formalitas negara.

Riset nasional sudah lama menyimpulkan pola ini bukan anomali

Mongabay (2023) mengurai rantai timah gelap dari titik-titik kecil di kampung hingga menjadi pasokan global
Tempo (2022) memaparkan jaringan broker timah bayangan yang bisa menembus sistem ekspor

Poinnya: sistem transaksi “basah” kecil yang seperti warung nasi goreng ini adalah persendian mikro dari ekonomi kriminal nasional.

Dan negara terlambat memetakan ekosistemnya.

Pertanyaannya kini berubah:
Bukan lagi: apakah ini ilegal?
Karena itu sudah terang seperti siang.

Pertanyaan saat ini adalah:
Negara masih berdaulat atas timah, atau kedaulatan itu sudah disubkontrakkan kepada para big bos kampung yang tidak punya kantor pajak, namun punya jaringan uang lebih cair dari APBN?

Pangkal Beras adalah miniatur nasib negara tambang ini dan inilah pola ekonominya dalam satu napas pendek yang dingin: penambang liar mengeruk bijih → kolektor mikro menampung per kampung → lokasi pengolahan basah kecil (seperti di RT 02 Pangkal Beras) mencuci dan menaikkan kadar → lalu concentrate dipoles angkanya → bandar kelas menengah membeli dalam tonase → smelter tertentu “melicinkan” volumenya ke sistem produksi legal → dan setelah itu ekspor global tak pernah bisa membedakan mana timah negara, mana timah gelap — karena di sistem global, logam itu masuk dalam satu kolam. Dan seluruh dunia, diam-diam, mengonsumsi logam yang sebagian nilainya bersumber dari rawa-rawa dan tanah kampung yang tak pernah disahkan negara.

Dokumen visual sudah ada.
Laporan warga sudah ada.
Nama yang disebut warga juga sudah ada meski masih berbentuk rumor sosial.

Kini giliran negara.
Apakah negara memilih masuk, menyisir, memeriksa, menggeledah?
Atau negara akan sekali lagi memilih menjadi ilustrasi saja
sementara raksasa timah gelap berjalan tanpa pernah terganggu?
Baca Juga
Baca Juga
Lebih baru Lebih lama