Kotabumi--Dikarenakan diduga telah melindungi terduga pelaku rudapaksa anak di bawah umur, oknum kepala desa di Kecamatan Abungkunang, Lampung Utara dipolisikan oleh Perkumpulan Gerakan Kebangsaan (PGK), Jumat (26/9/2025).
"Kasus seperti ini tidak boleh dimediasi damai. Jadi, kami anggap beliau mencoba melindungi terduga pelaku," ujar Ketua PGK Lampung Utara, Exsadi usai pelaporan.
Menurutnya, upaya mediasi itu dibuktikan dengan adanya surat pernyataan 'damai' antara korban dan terduga pelaku dan surat pemanggilan kepada ayah korban. Padahal, sesuai aturan, langkah seperti ini diduga tidak sesuai aturan. Apa pun bentuknya, kasus kekerasan seksual, apalagi kejahatan seksual terhadap tidak boleh diselesaikan di luar peradilan.
"Phak kepolisian harus segera mendalami persoalan ini," kata dia.
Sebelumnya, terkait langkah kepala desa tersebut, Pemkab Lampung Utara berencana membentuk tim khusus. Pembentukan ini untuk merespons tuntutan yang disuarakan oleh para pengunjuk rasa pada Rabu ini (24/9/2025).
Sebelumnya, seorang anak di bawah umur di Kecamatan Abungkunang diduga dirudapaksa oleh seorang perangkat desa. Akibatnya, Melati, bukan nama sebenarnya, hamil lima bulan.
Kasus ini terungkap setelah pihak sekolah curiga melihat kondisi korban. Saat dipanggil ke ruang guru, barulah diketahui korban dalam keadaan hamil. Kabar tersebut membuat ayah korban sempat pingsan.
Dari pengakuan korban, pelaku kerap menghubunginya melalui WhatsApp. Suatu kali, pelaku masuk lewat pintu belakang rumah dan langsung membujuk korban di ruang tamu hingga melakukan perbuatan bejatnya. Peristiwa serupa kembali terjadi pada Juni 2025.
Ironinya, keluarga korban yang hendak menempuh jalur hukum dengan melapor ke Polres Lampung Utara justru mengaku dipaksa untuk berdamai. “Saya merasa takut, kepala desa diduga melindungi pelaku dengan memaksa kami berdamai," terang ayah korban.
Menyikapi dugaan intervensi yang berujung perdamaian dalam kasus ini, Camat Abungkunang, Agus Jayastika dan Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak Lampung Utara, Tien Rostina Pra menilai, langkah ini tidak tepat. Setiap kasus tindak pidana kekerasan seksual wajib diselesaikan di peradilan.RD/EG