Di Muara Air Kantung Sungailiat, Kabupaten Bangka, terjadi situasi yang menciptakan konflik kepentingan antara aktivitas pengerukan alur pelayanan kapal nelayan dan pertambangan timah dengan Izin Usaha Pertambangan Produksi Industri Primer (IUP PIP).
Pengerukan alur pelayaran merupakan kegiatan vital untuk menjaga kedalaman perairan agar kapal nelayan dan niaga dapat melintas dengan aman, terutama saat air surut. Namun, pertambangan timah di wilayah tersebut sering kali memperparah pendangkalan akibat sedimentasi.
Aktivitas pengerukan juga menghasilkan limbah yang mencemari perairan, merusak ekosistem laut seperti terumbu karang, dan membuat air menjadi keruh. Hal ini berdampak pada hasil tangkapan nelayan dan keberlanjutan ekosistem.
Dilema utama adalah siklus kerusakan: pengerukan dilakukan untuk mengatasi pendangkalan yang justru diperparah oleh penambangan. Selain itu, terdapat tantangan dalam penegakan hukum dan tumpang tindih perizinan, meskipun secara hukum penambangan di wilayah pesisir dan pulau kecil dilarang tanpa izin spesifik dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang ketat.
Dari aspek sosial ekonomi, meskipun pertambangan memberikan kontribusi ekonomi, dampak negatifnya merugikan mata pencaharian masyarakat pesisir. Pemerintah daerah dan perusahaan tambang terkadang melakukan kolaborasi dalam pengerukan sebagai solusi jangka pendek, namun tidak menyelesaikan akar masalah kerusakan lingkungan.
Selain itu, awak media mendapatkan informasi dari masyarakat bahwa setiap penambang yang ingin beroperasi di lokasi tersebut harus membayar biaya sebesar Rp 2 juta per ponton setiap minggu kepada panitia yang tidak disebutkan jelas identitasnya. Aktivitas penambangan berjalan dari pagi hingga malam hari.
Konfirmasi yang dilakukan kepada pihak terkait, termasuk Pak Rahendra sebagai Ketua Tim Teknis (KTT), belum mendapatkan tanggapan hingga saat ini. Redaksi akan terus mengikuti perkembangan kasus dan melakukan konfirmasi kepada semua pihak terkait.


