Skandal Penambangan Timah Ilegal di Bangka: Ratusan Ponton Beroperasi, Diduga Dibekingi Oknum Aparat dan Jaringan Mafioso


MERAWANG – Ratusan unit penambangan timah ilegal (PETI) secara terang-terangan beroperasi di Daerah Aliran Sungai (DAS) Desa Jade Bahrin, Kecamatan Merawang, Kabupaten Bangka. Aktivitas haram yang menggunakan ponton apung ini disinyalir kuat dibekingi oleh oknum aparat dan dikendalikan oleh jaringan kolektor timah yang terorganisir rapi.
 
Seorang warga Jade Bahrin berinisial AK (42) mengungkapkan, operasi tambang ilegal ini sudah terkoordinasi secara sistematis. "bahkan ada oknum yang mengaku wartawan ikut menerima jatah," beber AK. Ia menyebut oknum wartawan tersebut berinisial Candra, yang menerima jatah Rp2.000 per kilogram timah.
 
AK juga menyebut nama Kamal, seorang kolektor timah yang diduga menjadi kaki tangan bos alat berat terbesar di Kabupaten Bangka, berinisial Hfu. "Semua ini Hfu yang atur, tapi Kamal yang tahu detailnya karena dia yang membeli timah di lapangan dengan harga Rp135.000 per kilogram dari penambang," ungkap AK, menyoroti dugaan praktik monopoli dan jaringan tersembunyi di balik bisnis ilegal ini.
 
Pantauan tim media di lokasi menunjukkan, deretan ponton memenuhi aliran sungai. Suara mesin penyedot pasir timah menderu nyaring, menandakan aktivitas tambang berlangsung tanpa rasa takut, seolah kebal hukum.
 
Warga lain, AM, juga dari Jade Bahrin, menambahkan bahwa ada nama-nama lain yang terlibat dalam penampungan timah ilegal ini, yaitu Milui, Rungul, dan Buyung dari Kabupaten Bangka. "Mereka langsung menampung timah dari penambang dengan harga sekitar Rp135.000 per kilogram," jelas AM, menguatkan indikasi jaringan penadah yang luas.
 
Aktivitas tambang apung ini tidak hanya merusak ekosistem perairan, tetapi juga memperparah kondisi Sungai Jade Bahrin yang dikenal sebagai habitat buaya ganas. Sedimentasi akibat pengerukan timah berpotensi mencemari air sungai yang selama ini menjadi sumber mata pencarian warga untuk mencari ikan, kepiting, dan udang. Ironisnya, sungai yang dulunya menjadi lokasi favorit pemancingan udang bagi warga lokal dan luar Jade Bahrin, kini dipenuhi ponton yang mengganggu aktivitas nelayan.
 
Masyarakat mendesak pemerintah daerah dan aparat penegak hukum untuk segera bertindak tegas. "Jika dibiarkan terus, bukan hanya lingkungan yang rusak parah, tapi juga bisa memicu konflik sosial yang lebih besar, bahkan konflik antara buaya dan manusia," tutup seorang warga dengan nada khawatir, menggambarkan ancaman serius yang mengintai kehidupan mereka.

Baca Juga
Baca Juga
Lebih baru Lebih lama